Media Tayammum
MEDIA TAYAMMUM
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Sudah dimaklumi media yang digunakan bertayamum adalah ash-sha’îd ath-thayyib (permukaan bumi yang bersih (baik) ), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.[Al-Mâidah/5:6]
Juga diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
Dijadikan (permukaan) bumi seluruhnya bagiku dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan media atau alat bersuci” [HR. Ahmad dalam al-Musnad no. 22190, dinyatakan shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al Arnauth].
Oleh karena itu ada ijmâ’ dari para Ulama tentang bolehnya bertayamum dengan debu yang bersih, seperti disampaikan oleh Ibnul Mundzir t dalam pernyataan beliau, “Para Ulama berijma’ (bersepakat) bahwa Tayammum dengan tanah yang berdebu diperbolehkan[1].
Demikian juga Ibnu Abdilbarr t menyatakan: Ulama ahli fikih bersepakat bahwa tayamum dengan debu diperbolehkan[2].
Kesepakatan para ulama ini didasarkan kepada hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
Dan dijadikan debunya sebagai media atau alat bersuci untuk kita, apabila tidak mendapatkan air [HR
Muslim no. 522].
Ijmâ’ para ulama ini berkenaan dengan penggunaan debu sebagai media tayamum, sedangkan selain debu yang ada dipermukaan tanah, maka terjadi perbedaan pendapat para ulama fikih tentang kebolehan penggunaannya sebagai alat dan media tayamum dalam tiga pendapat:
Pendapat Pertama: Diperbolehkan menggunakan semua yang ada dipermukaan tanah dan semua yang ada diatasnya, seperti debu, pasir, batu atau tembok atau yang sejenisnya. Inilah pendapat mazhab al-Hanafiyah, Mâlikiyah dan riwayat dalam mazhab al-Hanâbilah apabila tidak mendapatkan debu serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[3], asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar 1/305-306), al Amir as-Shan’âni rahimahullah[4], Syaikh al Albâni rahimahullah[5], Syaikh Abdullâh Alu Bassâm rahimahullah [6], Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah[7], Syaikh DR. Shâlih bin Fauzan al Fauzan [8], Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy al Khalafiy [9].
Dalil pendapat ini adalah:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); [Al Mâidah/5:6]
2. Hadits Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhnu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ، فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ
Gunakanlah permukaan bumi yang baik, karena itu mencukupkanmu [HR. Al-Bukhâri no. 344]
Ayat dan hadits ini menunjukkan bolehnya bertayammum dengan menggunakan semua yang kejadian bagian dari bumi. Hal itu karena kata (الصَّعِيدِ) bermakna semua yang tampak dipermukaan bumi baik berupa tanah berdebu atau selainnya. Pengertian ini diakui oleh para ulama pakar bahasa Arab seperti al-Ashma’i rahimahullah, al-Khalîl rahimahullah, Tsa’lab rahimahullah, Ibnul Arabi rahimahullah, az-Zujâj rahimahullah dan Abu ‘Ubaid rahimahullah. [10]
Az-Zujâj rahimahullah berkata: Saya tidak mengetahui diantara pakar bahasa Arab ada perbedaan pendapat bahwa ash-Sha’îd adalah permukaan bumi.[11]
3. Hadits Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُعِلَت لِيَ الأرضُ طَهوراً ومسجداً
Dijadikan untukku bumi menjadi alat bersuci dan masjid. [HR Abu Dawud no. 489 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah]
4. Hadits Abul Juhaim al-Anshâri Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari arah sumur Jamal, lalu seorang menjumpai Beliau dan memberi salam lalu Beliau tidak menjawab salam hingga menghadap ke tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangannya kemudian menjawab salam tersebut. [Muttafaqun ‘alaihi].
5. Analogi kepada shalat di semua permukaan bumi. Apabila shalat sah dipermukaan bumi maka demikian juga tayamum menjadi sah dengan semua yang ada dipermukaan bumi seperti tanah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Diperbolehkan bertayamum dengan selain debu dari bagian bumi apabila tidak mendapatkan air. [12]
Sedangkan Syaikh al-Jibrîn rahimahullah berkata: Akan tetapi yang shahih tidak disyaratkan adanya debu dan hanya disyaratkan bersih dan suci berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); [Al-Mâidah/5:6].
Ash-Sha’îd adalah permukaan bumi. Berdasarkan hal ini sah tayamum dengan pasir yang tidak berdebu.[13]
Pendapat Kedua: Tidak diperbolehkan tayamum dengan selain debu yang bisa menempel ditangan. Inilah pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari ulama Hanafiyah, pendapat Syâfi’iyah dan Hanâbilah. [14]
Dalil pendapat ini adalah:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); [Al Mâidah/5:6].
Ayat ini menunjukkan tayamum hanya sah dengan debu dari dua sisi:
a. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan tayamum dengan ash-sha’îd yang bermakna debu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbâs z dalam pernyataan beliau:
أَطْيَبُ الصَّعِيدِ الْحَرْثُ وَأَرْضُ الْحَرْثِ
Ash-sha’id terbaik adalah tanah dan tanah pertanian. [Atsar mauqûf diriwayatkan Abdurrazâq dalam al-Mushannaf 1/211, Ibnu Abi Syaibah 1/148 dan al-Baihâqi dalam as-Sunan al-Kubro 1/214 dengan sanad hasan].
b. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan bertayamum untuk mengusap dengan sesuatu dari tanah, karena firman Allâh Azza wa Jalla : (مِنْهُ) bermakna sebagiannya. Tidak terjadi mengusap dengan sebagian tanah kecuali yang memiliki debu yang bisa menempel ke tangan. [15]
2. Hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَجُعِلَ لِي التُّرَابُ طَهُورًا
Dijadikan untukku debu sebagai alat bersuci. [HR Ahmad dalam al–Musnad no. 763, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 1/213 dan dishahihkan al-Albâni t dalam Silsilah Ahâdits Shahihah no. 3939]
3. Hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا، إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
Dijadikan debu sebagai alat bersuci apabila tidak mendapati air. [HR. Muslim no 522]
Dalam dua hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan permukaan bumi yang digunakan untuk bersuci dengan debu, sehingga selainnya dinafikan darinya.
4. Bersuci berhubungan dengan benda padat dan benda cair, kemudian dikhususkan pada benda cair dengan yang paling banyak keberadaannya yaitu air. Demikian juga pada benda padat harus dikhususkan pada benda yang ada dimana-mana yaitu debu. [Al-Hâwi 2/964].
Pendapat Ketiga : Hanya diperbolehkan menggunakan debu dan pasir saja, sedangkan selainnya tidak diperbolehkan. Inilah satu dari pendapat Abu Yûsuf rahimahullah dari kalangan Hanafiyah dan satu riwayat dalam mazhab Hanâbilah. (Mukhtashar al-Qadûri hlm 51 dan al-Inshâf 1/271).
Dalil pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang menyatakan:
أَنَّ رِجَالًا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: إِنَّا أُنَاسٌ نَكُونُ بِالرِّمْلِ فَتُصِيبُنَا الْجَنَابَةُ – وَفِينَا الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ – وَلَا نَجِدُ الْمَاءَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ أَوْ خَمْسَةَ أَشْهُرٍ؟. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَيْكُمْ بِالْأَرْضِ»
Sesungguhnya orang-orang mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Sesungguh kamu sekelompok masyarakat yang berada di daerah gurun, lalu janabah menimpa kami dan pada kami juga ada wanita haidh dan nifas dan kami tidak mendapati air selama empat bulan atau lima bulan. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hendaknya kalian gunakan tanah. [HR Abu Ya’la al-Maushili dalam Musnadnya no 5870 ;Namun hadits ini lemah seperti disampaikan Imam al-Baihâqi [16], an-Nawawi [17], Ibnu Abdilhadi [18] dan Husein Salim Ied pentahqiq musnad Abu Ya’la karena ada padanya Abdullah bin lahi’ah]
SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT INI.
Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada dua hal:
1. Perbedaan pendapat para ulama fikih tentang maksud dari ash-Sha’id dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); [Al Mâidah/5:6].
karena kata ash-Sha’îd adalah lafaz yang memiliki lebih dari satu pengertian (Lafadz Musytarak) menurut bahasa Arab. Kadang digunakan untuk pengertian debu dan kadang digunakan untuk semua bagian dari bumi. Ulama yang mengkhususkan pengertiannya adalah seluruh bagian bumi maka berpendapat bolehnya tayamum dengan semua yang ada dari bagian bumi baik itu debu atau yang lainnya. Ulama yang mengatakan maksud dari ash-Sha’îd dalam ayat adalah debu, berpendapat tidak boleh tayamum dengan selain debu dari bagian bumi ini.
2. Adanya hadits yang bersifat umum, yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
جُعِلَت لِيَ الأرضُ طَهوراً ومسجداً
Dijadikan untukku bumi menjadi alat bersuci dan masjid. [HR Abu Dawud no. 489 dan dishahihkan al-Albani Rahimahullah]. Ada juga Ulama yang memandang hadits ini mutlak. Lalu ada riwayat lain dari hadits ini yang berisi redaksinya:
وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا،وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا
Dijadikan untuk kami bumi seluruhnya untuk masjid dan dijadikan debu sebagai alat bersuci [HR Muslim no 522]
Sebagian ulama menjadikan riwayat ini sebagai pengkhusus hadits diatas, sedangkan yang lainnya menjadikannya pembatas kemutakan hadits tersebut. Mereka yang berpendapat adanya pengkhususan dan pembatasan kemutlakan adalah yang memandang tidak boleh bertayamum dengan selain debu dari bagian bumi ini. Adapun ulama yang berpendapat bolehnya bertayamum dengan semua yang ada dari bagian bumi membiarkan keumuman hadits ini dan tidak menerima anggapan pengkhususan dan pembatasan kemutlakannya. [19]
PENDAPAT YANG RAJIH.
Pendapat yang kuat menurut kami adalah Pendapat Pertama dengan alasan:
1. Kekuatan dalilnya
2. Kesepakatan ulama bahasa Arab bahwa ash-sha’îd tidak terbatas pada pengertian debu saja.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar bersama para Sahabatnya dalam perang Tabûk melakukan pejalan jauh di gurun pasir tanpa membawa debu. padahal air juga sedikit sekali dalam perjalanan yang sangat jauh dan dahaga sehingga para sahabat mengeluh kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka bertayamum dengan bagian dari bumi yang ada ditempat istirahat mereka. Hal ini menunjukkan bolehnya bertayamum dengan selain tanah berdebu. [20]
4. Kata (مِنْهُ) dalam ayat tidak mesti bermakna sebagian, boleh juga bermakna penjelasan (Bayâniyah) atau permulaan (Ibtida’), sehingga pengertiannya adalah mengusap itu dari permukaan bumi ini atau permulaan mengusap darinya. Indikatornya adalah keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
Dijadikan untuk kami bumi seluruhnya untuk masjid dan alat bersuci. Dimanapun seorang dari umatku mendapati shalat, maka shalatlah (Muttafaqun ‘alaihi).
5. Ayat tayamum dalam surat an-Nisâ’ ayat 43 tidak ada kata (مِنْهُ), Allâh berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. [An-Nisâ’/4:43]
Ayat an-Nisâ’ ini turunnya mendahului ayat 6 dari surat al-Mâ’idah beberapa tahun.
6. Pendapat yang mengkhususkan keumuman hadits tentang tayamum terbantahkan dalam dua hal:
- Debu adalah salah satu bagian bumi. Penyebutan elemen dari lafazh umum dengan hukum lafazh umum tidak bisa menjadi pengkhusus menurut pendapat mayoritas ulama.
- Berdalil dengan lafazh debu (التُّرَابُ) termasuk dalam masalah mafhum al-laqab dan mafhum al-laqab lemah menurut mayoritas ulama usul fikih.[21]
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Ijmâ’ hlm 36 dan al-Ausâth 2/37
[2] At-Tamhîd 19/290
[3] Al-Fatawâ al-Kubra 5/309 dan al-Ikhtiyârât al-Fiqhiyah Min Fatawâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; kara al-Ba’li hlm 20)
[4] Lihat Subulus Salâm al Mausulatu ilâ Bulûghil Marâm 1/351-352
[5] Lihat ats–Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitâb oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni 1/31
[6] Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm 1/414
[7] Lihat Fatawâ Islamiyah 1/277
[8] Lihat al Mulakhoshul Fiqhiy hlm. 38
[9] Lihat al Wajiz fi Fiqhil Kitâb was Sunnah hlm. 56
[10] Lihat al-Muntaqâ 1/116
[11] Ma’âni al-Qur`ân 2/56
[12] Al-fatâwâ al-Kubra 5/309
[13] Fatawâ Islamiyah 1//277
[14] Al-Mabsûth 1/108, al-Majmû’ 2/170 dan al-Mughni 1/324
[15] Lihat al-majmû’ 2/171
[16] As-Sunan 1/2160
[17] Al-Majmû’ 2/172
[18] Tanqîh at-Tahqîq Fi Ahâdits at-Ta’lîq 1/214
[19] Lihat Bidâyatul Mujtahidîn 1/140 dan Syarhu al-Talqîn 1/287
[20] Lihat Zâd al-Ma’âd 1/200
[21] Nailul Authâr 1/305-306 dan Minhatul ‘Alâm Syarh Bulûghul Marâm 2/80.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11006-media-tayammum.html